Berkat kerajaan adikuasa masa klasik, kita (seharusnya) bisa mendapatkan teladan menghargai hidup rukun bersama beragam budaya dan agama.

menggambarkan suasana multikulturalisme di Ibu Kota Majapahit (Seni:
Sandy Solihin)
“Majapahit dibentuk dalam budaya multikultur,”
ungkap Guru Besar bidang arkeologi Hariani Santiko sambil membelai
kucing persia kesayangannya sementara kucing-kucing lainnya seolah
berlomba mencari perhatian. Meskipun telah pensiun sebagai dosen di
Universitas Indonesia, hingga kini dia masih terlibat aktif dalam
berbagai penelitian.
Pada masa keemasan dalam takhta Hayam Wuruk dengan gelar Rajasanagara
yang didampingi Mahapatih Gajah Mada, Majapahit telah berhasil dalam
menghimpun kerja sama dengan kerajaan-kerajaan lain di Nusantara. Meski
sang mahapatih hanya mendampingi selama 14 tahun, keberhasilan ini tidak
hanya dalam hal politik atau keamanan regional, tetapi juga dalam
perdagangan.
Majapahit berkepentingan mengamankan wilayah kerajaan-kerajaan lain
karena kerajaan adikuasa itu membutuhkan pasar untuk menjual hasil
buminya, sekaligus membutuhkan sumber daya dari kerajaan lain yang
berpotensi untuk perdagangan.
“Dengan adanya konsep politik Gajah Mada, maka terjadilah hubungan dagang,” ungkapnya, “sehingga masyarakat Majapahit menjadi multikultur.” Majapahit berkembang menjadi sebuah metropolitan, tempat beragam budaya dan agama bertemu dan membentuk kehidupan kota.
“Dengan adanya konsep politik Gajah Mada, maka terjadilah hubungan dagang,” ungkapnya, “sehingga masyarakat Majapahit menjadi multikultur.” Majapahit berkembang menjadi sebuah metropolitan, tempat beragam budaya dan agama bertemu dan membentuk kehidupan kota.
Gambaran ragam budaya yang hidup bersama di Majapahit dituliskan oleh Prapanca dalam
Kakawin Nagarakertagama pada 1365, “Itulah
sebabnya berduyun-duyun tamu asing datang berkunjung dari Jumbudwipa
(India), Kamboja, Cina, Yamana, Campa, dan Goda, serta Saim. Mereka
mengarungi lautan bersama para pedagang, resi, dan pendeta, semua merasa
puas, menatap dengan senang.”
Hariani menambahkan, walaupun belum sebagai “poli bangsa” di
Kerajaan Majapahit, pendatang asing telah menjadi perhatian
Rajasanagara. “Mungkin para pendatang dari berbagai bangsa itu
bertempat tinggal di Trowulan,” ungkap Santiko, “Hayam Wuruk mengangkat
seorang pejabat yang disebut Juru Kling untuk mengatur para pendatang.”

Rajasanagara telah “menempatkan rumah ibadah yang akhirnya membentuk
tata kota Majapahit: Sebelah timur untuk Siwa, sedangkan sebelah Barat
untuk Buddha,” kata Hariani.
Untuk menjaga hegemoninya, setiap tahun
sang raja juga berkeliling ke tempat-tempat yang
berbeda, dari kota
pelabuhan hingga tempat pertapaan pendeta Siwa di gunung-gunung.
Raja-raja di Majapahit, khususnya Rajasanagara, mempunyai kebijakan
untuk mengatur kehidupan multiagama. Dalam sebuah peraturan dipaparkan
tujuan kebijakan tersebut adalah saling menghargai antaragama, mencegah
konflik sosial-agama atau manajemen konflik, dan menunjukkan sifat
toleransi yang menghargai perbedaan.
Maraknya perseteruan antarbudaya dan antaragama atau antarkeyakinan
akhir-akhir ini tampaknya membuat kita berpikir dan menengok kembali ke
masa lalu. Pemahaman keragaman budaya membantu kita memaknai perbedaan
dan sanggup berhubungan lintas batas. Apakah kita lupa karena dilenakan
zaman, bahwa leluhur kita telah meneladankan kearifan hidup dalam
keberagaman? “Dengan contoh-contoh kesejarahan, kita dapat mengingatkan
jatidiri bangsa,” tulis Hariani dalam sebuah catatannya.
No comments:
Post a Comment