Tradisi Eropa dan Amerika Utara menyebut kondisi saat Matahari berada di titik paling selatan sebagai winter solstice atau titik balik musim dingin. Sebabnya peristiwa tersebut terjadi pada saat musim dingin mencapai puncaknya di kawasan tersebut. Istilah ini kemudian diterima dan menjadi penamaan universal bagi peristiwa tersebut, meskipun pada galibnya situasi yang sangat berbeda terjadi di belahan Bumi selatan. Bagi kawasan Amerika bagian selatan, Afrika bagian selatan serta Australia, Selandia Baru dan sekitarnya maka winter solstice justru menjadi puncak dari musim panas.

Pola
angka 8 ini adalah analemma, terjadi jika Matahari difoto pada jam yang
sama setiap 10 hari sekali sepanjang tahun. Perhatikan posisi winter
solstice
Salah satu dampak presesi yang kasat mata adalah berubahnya posisi kutub utara langit. Jika pada saat ini kutub utara langit amat berdekatan dengan bintang Polaris di rasi Ursa Minor, maka dalam 12.000 tahun mendatang giliran bintang terang Vega di rasi Lyra yang menjadi lokasi kutub utara langit. Presesi juga menyebabkan pergeseran pada titik–titik istimewa Matahari, termasuk titik winter solstice. Sebagai konsekuensinya maka nilai periode tropis Matahari, yakni selang waktu antara dua kejadian Matahari menempati titik winter solstice yang berurutan adalah lebih cepat 20 menit 24 detik dibanding periode sideris Matahari, yakni selang waktu antara dua kejadian berurutan bagi konjungsi Matahari dengan sebuah bintang yang sama. Periode tropis inilah, yang besarnya 365 hari 5 jam 48 menit 46 detik, yang menjadi dasar bagi sistem kalender universal berbasis Matahari yang amat penting peranannya bagi peradaban kita saat ini.
Bagi kawasan tropis seperti Indonesia, pada saat winter solstice terjadi maka kita sedang mengalami musim hujan. Penjelasan sederhananya, saat Matahari menyusuri di belahan langit selatan maka belahan Bumi bagian selatan menerima pemanasan Matahari lebih intensif sehingga menjadi kawasan bertekanan rendah. Akibatnya udara pun berhembus dari belahan Bumi bagian utara yang lebih dingin. Terciptalah angin muson barat, yang membawa cukup banyak uap air dan mengembun di udara Indonesia membentuk awan dan hujan. Namun dinamika cuaca Indonesia sebenarnya tidak sesederhana itu.
Kombinasi penyinaran Matahari, pengauh angin pasat dan faktor–faktor yang belum diketahui menyebabkan cuaca Indonesia dapat dipengaruhi tiga jenis anomali : osilasi selatan el–Nino, osilasi dwi–kutub Samudera Hindia dan osilasi Madden–Julian. Osilasi selatan el–Nino berpusat di perairan Samudera Pasifik. Osilasi positif (disebut el–Nino) mampu menimbulkan musim kering berkepanjangan yang memundurkan puncak musim hujan. Sementara osilasi selatan yang negatif (dinamakan la–Nina) dapat menciptakan musim hujan berkepanjangan. Pun demikian osilasi dwi–kutub Samudera Hindia, hanya saja yang ini berpusat di perairan Samudera Hindia. Osilasi positif dapat memundurkan musim hujan dan sebaliknya bisa membuat musim hujan maju. Sebaliknya osilasi Madden–Julian berlangsung di seluruh perairan samudera tropis tanpa menetap di satu kawasan. Osilasi ini mendatangi suatu tempat secara periodik tiap 30 hingga 45 hari sekali dan mampu mendatangkan hujan teramat deras selama seminggu atau lebih.
sumber : kafe astronomi
No comments:
Post a Comment